Kenapa Budaya Timur kalah dengan Budaya Barat, Apakah penyebabnya ?

By GIE - Juni 10, 2018


Ilmu Budaya Dasar







Nama        : Gilang Ramadhan
Kelas         : 1KA19
NPM         : 12117551
Dosen        : DYAN TANJUNG GUNOTOMO


1. Kebudayaan Barat
Kebudayaan Barat yang ditulis sebagai western culture adalah himpunan sastra, sains, politik, serta prinsip-prinsip artistic dan filosofi yang membedakannya dari peradaban lain. Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan tersebut umumnya telah dikumpulkan dalam konon Barat. Istilah ini juga telah dihubungkan dengan negara-negara yang sejarahnya amat dipengaruhi oleh imigrasi atau kolonisasi orang-orang Eropa, misalnya seperti negara-negara di benuaAmerika dan Australia, dan tidak terbatas hanya oleh imigran dari Eropa Barat. Eropa Tengah juga dianggap sebagai penyumbang unsur-unsur asli dari kebudayaan Barat.
Ada 3 ciri dominan kebudayan Barat yaitu (1) penghargaan terhadap martabat manusia. Hal ini bisa dilihat pada nilai-nilai seperti demokrasi, institusisosial, dan kesejahteraan ekonomi; (2) kebebasan. Di Barat anak-anak berbicara terbuka di depan orang dewasa, orang-orang berpakaian menurut selera masing-masing, mengemukakan pendapat secara bebas, dan tidak membedakan status sosial dan sebagainya; dan (3) penciptaan dan pemanfaatan teknologi seperti pesawat jet, satelit, televisi, telepon, listrik, computer dan sebagainya. Orang Barat menekankan logika dan ilmu serta cenderung aktif dan analitis.
Pikiran masyarakat Barat cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa, sehingga hasil pola pikirnya membuahkan sains dan teknologi. Filsafat Barat telah dipusatkan kepada dunia rasio. Oleh sebab itu, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Sikap aktif dan rasional di dunia Barat lebih unggul dibandingkan dengan pandangan hidup tradisional, baik filsafat maupun agama yang terkesan mengalami kemunduran. Cara berpikir dan hidup orang Barat lebih terpikat oleh kemajuan material, sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan agama hanya muncul sebagai sistemik ide-ide abstrak tanpa ada hubungannya dengan kenyataan dan praktek hidup (Soelaeman, 1987: 50-51).
Pengaruh tradisi dan agama terhadap hidup dan pikiran Barat berkurang karena mereka mengunggulkan cara berpikir analitis rasional. Maka, mereka menganggap nilai-nilai hidup dengan menggunakan kepekaan hati sebagai suatu yang subjektif dan tidak bermutu. Menurut Anh (dalam Soelaeman, 1987) ada tiga nilai penting mendasari semua nilai di Barat yaitu martabat manusia, kebebasan, dan teknologi. Marx (dalam Soelaeman, 1987) menjelaskan bahwa Barat menganggap manusia adalah ukuran bagi segalanya. Artinya, manusia memiliki kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek, dan pengalaman. Sejarah pemikiran tersebut berasal dari Protogoras, Bapak Humanisme, yang kemudian berkembang pesat di Barat.
Barat beranggapan bahwa manusia nilainya tidak terukur oleh apapun. Dengan demikian, manusia memerlukan respek, bantuan, dan hormat. Barat memandang manusia sebagai pusat segala sesuatu yang memiliki kemampuan rasional, kreatif, dan estetik, sehingga kebudayaan Barat menghasilkan beberapa nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Dalam tradisi humanistik, kebaikan dan kebenaran dipilih sendiri oleh manusia. Akibatnya, pemikiran ini semakin berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama di kalangan Timur merupakan sumber nilai, di Barat dicampakkan. Barat berpendapat bahwa kebajikan agama tidak berbeda dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin membangun agama baru yang selaras dengan ilmu pengetahuan. Di Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian terhadap benda, kenikmatan dan keselarasan dunia yang terkadang menimbulkan persaingan dan kekacauan di masyarakat (Soelaeman, 1987: 51-52).
               Soelaeman (1987: 52-53) menjelaskan bahwa teknologi Barat membuat kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit bangsa Timur yang menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum tersebut. Filsafat berdiri di kaki sendiri tidak tahan godaan terhadap kemajuan teknologi Barat, sehingga bangsa Timur tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi Barat melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena terlalu cepat mengarah ke depan (future shock). Cepatnya teknologi Barat sulit diikuti imajnasi, sehingga banyak benda yang cepat tidak dipakai. Di Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh perubahan teknologi, sehingga menimbulkan dampak kehilangan arah, kepercayaan terhadap diri sendiri, nilai-nilai, dan iman. Selain itu, manusia yang dikuasai oleh teknologi dapat mengakibatkan kecemasan, tekanan, hidup acuh tak acuh, terganggu kesehatan mental. Akibatnya, teknologi yang tadinya meningkatkan nilai eksistensi manusia, sekaligus merendahkan martabat manusia. Ukuran dalam budaya teknologi sekarang adalah kultur orang, kuantitas (produksi yang melimpah), kultur buatan (artifisial), dan kontrol menyeluruh (kemahakuasaan sistem).
               Anh (dalam Soelaeman, 1987) tradisi humanistik di Barat bebentuk penghargaan terhadap martabat manusia sebagai suatu yang otonom, merdeka, dan rasional, menunjang nilai-nilai demokrasi, lembaga sosial, dan kesejahteraan teknologi. Nilai-nilai lain seperti kebebasan, perekonomian, dan teknologi pun ikut berkembang. Kemajuan teknologi menghasilkan dinamisme, perencanaan, organisasi, manajemen, keberanian berusaha, penguasaan materi, sekaligus menggerogoti kehidupan sosial dan pribadi. Orang barat lebih condong menekankan dunia empiris, sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Menurut konsep Barat, manusia dan alam adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus diekploitasi oleh manusia. Hal ini sering tersurat dalam kara-kata: menaklukkan luar angkasa, alam, dan hutan rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan dengan problema yang terjadi di Barat seperti polusi udara dan air. Singkatnya, Barat memiliki persepsi yang berbeda mengenai nilai pengetahuan, keinginan, watak, proses waktu, dan sikap terhadap alam.

2. Kebudayaan Timur
Kebudayaan Timur adalah lawan dari kebudayaan Barat. Orang Timur mempunyai manner yang khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Bangsa Timur sangat terkenal dengan hospitality atau keramahtamahannya terhadap orang lain bahkan orang asing sekalipun.  Bagaimana mereka saling memberikan salam, tersenyum atau berbasa basi menawarkan makanan atau minuman. Bangsa Timur juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh di lingkungan masyarakat mereka. Contohnya, saja nilai kesopanan. Hal yang paling dominan dari kebudayaan Timur adalah adat istiadat yang masih dipegang teguh. Walaupun adat istiadat saat ini mulai pudar dan berubah. Selain itu, hal yang dominan adalah konsep gotong royong, kebersamaan menjadi hal yang paling utama.
     Soelaeman (1987: 53-54) menjelaskan bahwa nilai budaya Timur banyak bersumber pada agama-agama yang lahir di dunia Timur. Manusia-manusia Timur menghayati hidup dan seluruh eksistensinya. Orang Timur tidak berpikir untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis karena mereka lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Kepribadian manusia Timur tidak terletak pada kemampuan inteleknya, melainkan pada hatinya. Nilai budaya Timur dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur besifat kontemplatif yaitu tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif merupakan puncak perkembangan manusia.
    Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa dan realitas dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat. Kebudayaan Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Suatu hal baik menurut Timur bukan hanya bendawi tetapi rohani; sesuatu yang diperoleh melalui pencarian zat tertentu, baik di dalam maupun di luar tubuh manusia. Orang Timur mencari keharmonisan dengan alam. Mereka ingin mendapatkan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia. Ide keselamatan ini membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk mencapai ini semua tidak terletak pada akal budinya, melainkan melalui meditasi, tirakat, dan mistik (Soelaeman, 1987: 54).
               Kebudayaan Timur tidak hanya bersumber pada ajaran agama tetapi ide abstrak atau pun simbolik pun dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Hal ini terlihat pada saat orang Timur menegakkan norma yang ada. Pencarian ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan kognitif saja tetapi mencari kebijaksanaan. Dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran yang kongkret, simbolik, dan kebijaksanaan. Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu secara harmonis; tidak memaksakan diri atau mengeksploitasi alam karena alam merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia. Jika alam binasa, manusia pun akan binasa. Nilai kebudayaan dalam kehidupan Timur yang tertinggi dating dari dalam manusia itu sendiri, seperti nrimo kenyataan, mencari ketenangan, belajar dari pengalaman, dan menyatukan diri. Terkadang nilai spiritual dalam itu membuat sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, menghindar membangun dunia, hidup sederhana dan dekat dengan kehidupan alami. Singkatnya, Timur menginginkan kekayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenang tenteram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan menarik diri (Soelaeman, 1987: 54-55).

3. Perbedaan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur
Budaya Barat
BudayaTimur
1. Lebih selektif dalam berbagai bidang.
2.  Mempunyai disiplin tinggi.
3.  Terus terang dan to the point.
1.  Kebersamaan dalam hubungan lebih dipentingkan.
2.  Menjaga perasaan orang lain.
3.  Sopan santun.
4.  Penghargaan terhadap orang yang lebihtua.
5.  Adat istiadat yang masih dipegang teguh.

4. Sikap Bangsa Indonesia terhadap Kebudayaan Barat
Zaman sekarang adalah zaman asosiasi antara Timur dan Barat yaitu zaman adanya pencampuran budaya Timur dan Barat. Ada hubungan antara kedua bangsa tentu mendatangkan dua macam kejadian yaitu kejadian baik dan kejadian buruk. Tidak ada evolusi (kemajuan) yang tidak disertai kemunduran dalam sesuatu hal, baik lahir maupun batin. Adapun baik dan jahatnya sebuah evolusi tergantung pada jalannya asosiasi. Apabila bangsa yang terkena pengaruh percampuran itu kurang teguh dayanya (hanya meniru belaka semua keadaan baru), asosiasi itu akan bersifat denasionalisasi (hilang sifat kebangsaannya sendiri). Di situlah kelihatan bahwa kultur bangsa tersebut kalah dengan kultur asing. Hal demikian terjadi karena bangsa yang terkena pengaruh budaya asing itu masih rendah kulturnya (Dewantara, K. H, 1994: 3)
            Menurut Dewantara (1994: 3-4) ada juga asosiasi yang bersifat pertukaran alat-alat kultur yaitu kedua bangsa tersebut mempunyai budaya yang sama-sama tinggi. Hal demikian tentu telah terjadi evolusi sebaik-baiknya. Itulah proses evolusi yang sebaiknya dicari. Kejadian-kejadian jahat pun tidak dapat dielakkan dalam proses pencampuran dua budaya. Sebagai contoh, bangsa Indonesia sendiri mengalami kekerasan tingkah laku sebagai buah pergaulan dengan bangsa asing yaitu menghina dan merendahkan seni dan bahasa sendiri karena terlampau gandrung pada hidup kebaratan. Bangsa Indonesia meninggalkan kepandaian gending dan mengalihkan perhatian kepada jazz atau dansa yang dilakukan dengan berpeluk-pelukan oleh laki-laki dan perempuan di muka pubilk. Dengan melakukan hal tersebut, ini berarti merendahkan agama karena pengaruh materialisme Eropa (cinta pada barang lahir).
            Alat untuk mengurangi pengaruh buruk budaya asing adalah pendidikan. Pendidikan paling penting adalah pendidikan nasional, pendidikan untuk rakyat yang mengindahkan kultur dan dasar-dasar kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak boleh meninggalkan keluhuran budi (idealisme) sedikit pun. Bangsa Indonesia tidak boleh menjual keluhuran budi bangsa guna memperoleh penghidupan enak untuk badan sendiri. Masyarakat Indonesia tidak boleh menyukai segala alat-alat penghidupan meskipun haram atau najis, asal senang, enak, dan sama dengan orang-orang Barat (Dewantara, K. H, 1994: 4-5). Masyarakat Indonesia perlu mengindahkan nilai dan norma yang ada dalam kebudayaan Indonesia.
Walaupun demikian, menurut Pelly (dalam Maran) menjelaskan bahwa ada pengaruh positif kebudayaan yaitu (a) memperkaya kehidupan dalam bidang seni musik, lukis, busana, sastra, drama, dan lain-lain; (b) mengidentifikasi nilai-nilai universal untuk mengembangkan kebudayaan tradisional; (c) mendorong dan memberi pola untuk pendidikan nasional; (d) memperluas wawasan berpikir dan membantu dalam pengembangan hubungan antar bangsa; dan (e) mendorong tumbuhnya sikap dan perilaku mandiri yang sudah berakar dalam kebudayaan lokal.

DAFTAR PUSTAKA 
1 .Dewantara, K. H. (1994). Karya Ki Hadjar Dewantara bagian II kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
2. Soelaeman, M. M. (1987). Ilmu budaya dasar suatu pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama.
3. Maram, R. R. (2000). Manusia&kebudayaan dalam perspektif ilmu budaya dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sumber : https://ayundasilviadewi.wordpress.com/2015/06/02/kebudayaan-barat-dan-kebudayaan-timur/

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar